- Back to Home »
- Artikel »
- Harta, Tahta, dan Jelita
Posted by : FEB UKSW
Selasa, 25 Februari 2014
Ditulis oleh : Dr Intiyas Utami SE MSi Ak CA, dosen Fakultas Ekonomika dan
Bisnis (FEB) UKSW Salatiga, peneliti aspek keperilakuan dalam akuntansi.
KETERKUAKAN tengara bahwa artis Jennifer Dunn menerima
ìhadiahî berupa mobil mewah Toyota Vellfire dari Tubagus Chaeri Wardana
(Wawan), tersangka kasus pidana pencucian uang, menambah panjang deret sejarah
pencarian harta dan tahta dengan melibatkan wanita. Fenomena itu sejatinya
bukan hal baru yang mencengangkan masyarakat.
Korupsi, dalam ranah akuntansi, termasuk salah satu dari
tiga cabang ’’pohon’’ fraud (kecurangan), yang memiliki tiga ranting, yaitu
korupsi, penyalahgunaan aset (misappropriation asset), dan kecurangan laporan
keuangan. Lewat buku Auditing (2012), Arens dkk menyebutkan bahwa fraud,
termasuk korupsi, bisa timbul karena ada tiga penyebab, yaitu kesempatan,
tekanan, dan rasionalisasi.
Pertama; kesempatan itu muncul karena kemelemahan sistem
pengendalian internal pada suatu entitas organisasi. Sistem pengendalian
internal ibarat gembok untuk memastikan seisi
rumah aman dari pencurian. Pasalnya, gembok itu hanya bisa dibuka oleh
orang yang berwenang dan memegang kunci. Demikian pula dalam organisasi, gembok
merupakan sistem pengendalian internal untuk mengamankan aset dari berbagai
pelanggaran yang bisa menggerogoti aset, yang akhirnya meruntuhkan organisasi.
Kedua; tekanan, khususnya dari internal pelaku dalam
organisasi. Tekanan hidup dan tekanan sosial itu datang baik dari keluarga
maupun lingkungan, yang menuntut seseorang hidup glamor dan lebih hebat dari
orang di sekitar tempat tinggal atau lingkungan kerja. Keterbangunan tuntutan
dari keluarga/dinasti bisa membuat seseorang dalam jabatannya harus memilih
antara harta atau etika.
Ketiga; rasionalisasi. Mitos komunitas masyarakat layaknya
bebek berbaris itu menunjukkan manusia cenderung meniru perilaku tokoh yang
dianggapnya teladan. Hal ini karena manusia merasionalisasi banyak hal di
sekitarnya dan ketika lingkungan di sekitarnya ’’sukses’’ korupsi, maka ia
menganggap tindakan itu boleh dan lumrah dilakukan.
Para elite atau tokoh yang terjerat korupsi merupakan orang
terkemuka, terpelajar dan terkenal karena media massa mengungkap pesona dan
auranya. Contoh Rudi Rubiyandini, yang kesahajaannya pernah diekspose media
karena memilih mudik naik kereta api. Lalu Angelina Sondakh, mantan putri
Indonesia yang terjun ke politik, bahkan menjadi ikon iklan ìkatakan tidak pada
korupsiî.
Keterbangunan pesona atau aura tokoh itu ketika masih
bersinar, dalam ilmu keperilakuan dikenal sebagai efek halo. Halo merupakan
pendaran cahaya yang mengelilingi suatu objek bersinar. Demikian pula ketika
menilai objek manusia, riset pada bidang keperilakuan menunjukkan bahwa orang
cenderung mengalami bias kognitif, salah satunya dikenal sebagai bias
keterwakilan.
Ketika menilai individu lain, kita cenderung bertumpu pada
penilaian satu karakteristik pertama yang menonjol, dan penilaian tersebut
memengaruhi penilaian karakter lain dari individu tersebut. Misal melihat orang
berkacamata tebal, pendiam, dan terlihat lugu, kita bisa menilai ia
berpendidikan, kutu buku, pandai, dan jujur. Penilaian positif pada satu
karakter itu berimbas pada penilaian karakter lain yang positif dari orang
tersebut. Sebaliknya penilaian negatif muncul bila kita melihat pria bertubuh
kekar, bertato, beranting-anting, dan berpenampilan sangar. Fenomena tersebut
disebut bias kognitif efek halo.
Karakter Positif
Ketika image seseorang ditanamkan begitu positif, publik
akan mengenal individu tersebut memiliki karakter lain yang juga positif. Efek
halo bisa tercipta karena keterbatasan kognitif manusia. Penggunaan
keterbatasan kognitif biasa dipakai untuk mengiklankan produk yang cenderung
memanfaatkan tokoh yang dianggap bisa mewakili.
’’Pemanfaatan’’ artis oleh parpol pun bisa dikatakan ’’memanfaatkan’’
keterbatasan kognitif manusia sehingga partai memilih tokoh terkenal dengan
harapan tercipta efek halo. Belajar dari kasus efek halo tapi berakhir di
jeruji besi maka ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Pertama;
keterbatasan kognitif individu tak dapat dihindari, dan satu-satunya yang bisa
dilakukan adalah meningkatkan skeptisme dalam menilai objek. Ke depan kita tak
mudah percaya pada suatu hal, sebaliknya kritis menilai suatu objek.
Sikap kritis ini tak bisa muncul begitu saja tetapi harus
selalu diasah. Sikap kritis harus dibangun sejak dini, sejak di bangku SD,
lewat penanaman pendidikan karakter. Ke depan, siswa itu bakal menjadi pemimpin
sehingga sikap kritis harus berakar kuat di memori mereka.
Kedua; masyarakat makin peka terhadap penampilan tokoh
sekaligus skeptis menilainya, terlebih menjelang Pileg dan Pilpres 2014.
Iklan bertubi-tubi, pencitraan sebuah partai dengan
mengusung sejumlah tokoh hebat bertujuan menanamkan image positif terhadap
partai tersebut. Sebaiknya, perlu mengkritisi dan mencari informasi pembanding
atas program yang ditawarkan, tidak semata-mata menilai tokoh yang dijadikan
figur dan brand ambassador partai tersebut. Jangan menilai suatu objek hanya
dari bungkus.
Kita berharap media juga mengungkap aspek positif
pembangunan bangsa. Ikhtiar itu untuk menanamkan kepada anak usia dini dan
masyarakat bahwa kita masih memiliki sisi positif dan komitmen kuat
pemberantasan korupsi. Bila ingin menciptakan budaya antikorupsi, marilah kita
menampilan tayangan yang bisa membuat individu berpikir tidak ingin korupsi.
Tayangan positif akan dinilai positif, dan itulah imunisasi bagi kita untuk
antikorupsi. (10)
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2014/02/18/252899